Wednesday, December 18, 2013

Air susu dibalas air susu





“Plak..Plak..Plak..”
Tamparan keras dari seorang lelaki kepada gadis kecil di persimpangan Jalan Hang Tuah. Aku tak sengaja melihatnya ketika di dalam angkot. Tampak wajak gadis kecil itu memerah dan isak tangis yang tak tertahankan. Air matanya mengalir begitu deras. Lelaki itu nampak emosi, wajahnya bengis penuh amarah. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu.
Kupandangi wajah gadis itu, sepertinya aku mengenalinya. Tapi, siapa? Batinku berkata demikian. Iya, aku ingat, gadis itu bernama Afri, pengamen jalanan yang pernah menolongku dari serangan preman-preman keji, tiga bulan silam. Lelaki itu adalah ketua dari gerombolan preman yang dulu memukuliku. Iya, aku ingat sekarang.
Rasa kasihan tumbuh seketika kumelihat Afri. Aku bingung, haruskah ku menolongnya, sementara aku bukan siapa-siapa. Orang asing yang tak tahu urusan mereka. Tapi, tak bisa ku seperti ini, berdiam diri melihat orang yang dulu menolongku dari kekejian sang preman. Biarlah mereka menganggapku tukang ikut campur, yang jelas niatku baik.
Aku harus menolong dia, seperti apa yang dulu telah dia lakukan. Akan kubuktikan kalau aku memang pria jantan yang punya hati.
“ Berhenti, berhenti, berhenti Mang..” ucapku pada sang sopir angkot. Tepat di pertigaan jalan angkotpun berhenti.
“ Hey, mau kemana loe? Ini kan masih di pertigaan, belum sampai gang kost-an kita juga.” ucap Asrofil kepadaku.
“Terserah gue mau ke mana, apa urusan loe?” jawabku rada males.
“Dasar, mau ke mana si?”
“ Aku mau turun di sini. Udah jelas, mau ikut kagak?”
“ Gak jelas” Balasnya spontan.
Wajah Asrofil nampak kebingungan sepertinya dia masih memikirkan tawaranku. Asrofil adalah teman seperjuanganku. Kami berasal dari satu desa. Kami bersahabat sejak masih balita sampai segede gini. Kemanapun aku pergi, dia selalu ada di belakangku. Banyak orang bilang, kita seperti anak kembar yang tak terpisahkan. Di mana ada aku, pasti di situ ada dia. Lama-kelamaan aku merasa bosan sendiri dengan segala tingkahnya yang selalu mengikutiku. Dia seolah tak punya pendirian dan arah hidupnya dan terlalu bergantung kepadaku. Tapi, sisi lain dia sangat perhatian bahkan melebihi perhatiannya kepada kekasihnya sendiri. Tak banyak yang dapat kuungkapkan tentang dia, yang jelas aku sebel sekaligus bangga punya sahabat seperti dia.
Aku turun dari angkot tanpa memperhatikan apakah Asrofil turun atau gak, yang ada di pikiranku sekarang hanyalah apakah aku bisa menolong gadis kecil itu. Terserah dia ikut aku atau gak. Kemungkinan besar dia pasti ikut kemanapun aku pergi.
Bener dugaanku. Dia mengejarku yang lebih dulu turun dari angkot.
“Ardi. Tunggu aku, aku ikut kamu”  ucapnya dengan napas terengah-engah dan suara terbata-bata.
“ Ayo cepetan, jangan lelet. Katanya calon TNI. Mana jiwa perkasamu?”
“ Iya, iya. Aku lari”
Napasnya masih terengah-engah, namun dia berusaha menyeimbangi langkahku.
“ Tunggu dong, cepet banget jalannya, kayak sepur aja loe. Sebenarnya mau ke mana loe? Gak jelas banget.”
“ Kamu mau tau aku mau ke mana, tuh lihat di seberang jalan sana”
Asrofil melihat kedua orang itu, seorang lelaki keji dan gadis kecil. Dia melihat sang lelaki yang terus saja menampar gadis kecil itu. Aku melihat raut kebingungan pada mata dan mukanya. Dia tak begitu percaya dengan tingkahku.
“ Bahaya. Jangan, jangan” tegasnya kepadaku. Dia berusaha mencegahku menuju kedua orang itu. Pertengkaran kecilpun tak dapat dihindari diantara kami. Dia sangat tidak setuju dengan apa yang hendak kulakukan. Namun, aku berusaha menyakinkannya kalau aku bisa menolong anak itu.
“ Selagi niat kita baik pasti Alloh akan selalu melindungi kita” ucapku padanya.
“ Kamu lihat dulu seberapa kemampuanmu. Baru tiga bulan di karantina sudah nekat beraksi di jalanan. Lihatlah tubuhnya, kuat, tinggi, kekar. Bandingkan dengan kita. Betapa kecilnya kita di hadapannya” argumennya kepadaku.
“ Memang benar, lelaki itu kekar, berotot, tinggi, menakutkan, tapi apakah kamu tak kasihan melihat gadis kecil itu? Coba bayangkan jika dia adikmu sendiri. Mana belas kasihanmu?” ungkapku sembari mencoba memastikan kalau aku bisa.
“ Iya, bukannya aku melarangmu, tapi sungguh ini tak baik bagimu, begitu menakutkan. Aku takut kau tak bisa mengalahkannya dan akhiranya kau juga kan yang kena.” jelasnya dengan seribu alasan. Berharap aku tak mau melanjutkan lagi tingkah konyolku.
“ Tak ingatkah kau dengan gadis kecil itu, dulu dialah yang menyelamatkan kita dari serangan preman-preman tak bermoral, bukan?” kataku sambil mengajak dia ingat pada kejadian tiga bulan silam, di saat kami berdua dikeroyok oleh sekelompok preman di gerbang kereta.
Dia kembali melihat kedua orang itu dengan keseriusannya dan berusaha mengingat kenangan pahit diantara kami. Dia tertunduk sejenak. Mungkin dia mulai mengingat kajadian itu. Di saat kita berdua pertama kalinya menginjakkan kaki di kota ini. Kami yang baru lulus SMA, belum pernah belajar bela diri, badan belum kuat seperti sekarang, pantaslah kalau kita menjadi target sasaran mereka. Uang saku pemberian orang tua untuk mencukupi kebutuhan selama sebulan diembat habis oleh mereka. Pukulan keras tak segan-segan mereka berikan kepada kami. Wajah kamipun memar dan kebiru-biruan.
Untungnya ada seorang gadis kecil, sang pengamen cilik yang menolong kami berdua. Dia bertubuh kecil tapi berani. Geng preman itu adalah yang mengkoordinir semua pengamen di kompleks itu. Patutlah kalau gadis itu mengenalinya. Dia berusaha melepaskan kami dari cengkeramannya. Apapun dia lakukan, membentak-bentak preman itu sampai bersujud di kakinya demi menyelamatkan kami. Tapi tak membuahkan hasil, hanya cacian yang dia dapatkan. Dia justru ditendang dan terpental jauh.
Kami berusaha menolongnya, tapi dia berkata “jangan, lebih baik kalian selamatkan diri kalian sendiri dulu. Kalian orang asing, tak sepantasnya diperlakukan seperti ini”Gumamnya sambil menahan rasa sakit.
Kami tak menghiraukan kata-katanya. Jelaslah kami tak tega meninggalkan gadis kecil itu sendirian di tengah gerombolan preman biadab. Dia sama sekali tidak menyerah, semangatnya menolong kami begitu besar. Terpaksa hasil mengamennya selama sehari, dia kasihkan kepada mereka semua. Hingga akhirnya gerombolan preman pergi meninggalkan kami dan gadis kecil itu.
Kembali kutatap Asrofil yang sepertinya sudah mengingat kejadian tiga bulan silam.
“ Iya, aku ingat sekarang. Tak sebaiknya aku bicara seperti itu. Maaf.”
“ Sudahlah. Penyesalan memang selalu datang di akhir, yang penting ayo  kita bergerak dan menyelamatkannya.”
Kami berdua menyeberangi jalan menuju kedua mereka. Lelaki itu masih saja memukulinya.
“Hey, lelaki biadab. Ayo lepaskan. Kalo berani lawan kami, beraninya sama anak kecil” ungkapku dengan nada keras.
“Siapa kamu, anak bau kencur sok menjadi pahlawan” tegasnya keras.
Gadis kecil itu menatap kami, nampaknya wajah kami tak asing baginya. Dia tersenyum melihat kedatangan kami.
“ Dulu memang kami bau kencur, tapi lihatlah sekarang, jauh berbeda bukan? Aku yang dulu pernah kau pukuli hingga babak belur di depan gerbang kereta api, masih ingatkah kau? tegasku dengan nada keras.
“ Oh, jadi kamu anak yang dulu kupukuli.
Hebat, hebat, sekarang udah gede juga ya, anak kecil. Oke, perlu kucoba kemampuan kalian. Ayo maju.” Balasnya dengan lantang. Dia hanya terkekeh melihat tingkah kami yang seperti pahlawan kesiangan.
“ Siapa takut?” jawabku singkat.
Dia semakin terkekeh melihatku. Tertawanya sungguh menghujam jantungku.
Perkelahian diantara kami tak bisa dilerai. Asrofil dan gadis kecil itu hanya bisa melihat kami tak bisa bertindak. Satu pukulan dibalas dengan satu pukulan. Tubuhnya yang tinggi besar membuatku kewalahan menghadapinya. Akupun terjatuh karena pukulan kerasnya. Kucoba bangkit untuk berjuang melawan lelaki biadab itu. Asrofil dan gadis kecil itu memberiku motivasi untuk tetap berjuang dan bertahan. Sejenak, semangat barupun tumbuh pada diriku. Aku harus bangkit.
Kuserang dia dengan sekuat tenaga seolah sedang berada dalam medan perang membela tanah air. Apa yang terjadi, ternyata dia terjatuh sepertiku. Pukulanku begitu keras. Darah mengalir begitu deras dari lubang hidungnya. Diapun kabur dari hadapanku dan lari terbirit-birit dengan kencangnya. Tak kuduga aku bisa mengalahkan lelaki biadab itu. Mungkin kemenanganku ini karena dia sendirian, tak ada anggota preman yang lain. Beruntunglah aku. Ternyata, pelajaran selama di karantina calon TNI tidak sia-sia. Aku dapat menolong orang.
Asrofil dan Afri berjalan mendekatiku. Mereka tersenyum bahagia, namun sedih melihat mukaku yang memar dan penuh luka.
“ Ada yang sakit?” tanya Asrofil padaku.
Hanya kubalas dengan menggelengkan kepala.
“ beneran kak, mukamu memar ka?” ucap Afri.
“ Iya gak papa, luka biasa ini, nanti juga sembuh sendiri” balasku penuh senyuman palsu.
“ Gimana bisa sembuh, orang gak diobatin. Dimana-mana ya kak luka itu harus diobatin, gak bakalan sembuh sendiri” gumamnya pelan.
Aku hanya tersenyum melihat perhatian mereka.
“ Iya, nanti gampang, di kost masih ada obat buat luka memar.” jelasku padanya.
Sengaja kuputar balikan fakta yang kenyataannya gadis kecil itu juga merasakan hal sama denganku. Penuh luka memar di mukanya.
“ Hidungmu juga berdarah tuh”
“ Aku udah biasa kayak gini ka, bukan hal yang baru. Bentar lagi juga sembuh. Tenang aja kak” jawabnya.
Dia mengajak kami beralih pada topik pembicaraan yang lain. Berharap kami tak mempersoalkan hal ini lagi.
“ Kak, bukannya kalian yang dulu dipukuli preman-preman yang ada di gerbang kereta ya? tanyanya pada kami. Dia begitu penasaran apakah yang dipikirannya memang benar atau tidak.
“ iya, ternyata kamu masih ingat juga ya” jawab Asrofil.
“ Makasih ya atas pertolonganmu dulu” jawabku.
“ Hehehe.. sama-sama kak, aku juga berterimakasih atas pertolongannya kak?”
“ Iya, sebagai umat muslim kita harus saling menolong dimanapun kita berada” ungkapku padanya.
“ Dulu kamu menolong kami, apa salahnya sekarang gantian kami yang menolongmu” Asrofil menambah argumenku.
Kami bertiga saling bertatapan dan melempar senyuman.  Tiba-tiba terdengar suara adzan dari arah barat daya...
Allohu akbar..Allohu akbar...3x
....
“ Ternyata, udah maghrib, ayo kita pulang.”ajakku pada mereka.
“ Iya, kak, ayo”
“ Kamu mau dianter gak?”kami siap membantu” ucap Asrofil.
“ Gak usah kak, aku bisa pulang sendiri, deket ko rumahku di balik jembatan layang itu. Kalo kakak ada waktu main ya ke rumahku”
“ Oh, okelah, kamu hati-hati ya, kapan- kapan pasti kita sempatkan main ke rumahmu” ucapku lantang.
Dia hanya membalasnya dengan senyuman dan berbalik arah dari kami menuju rumahnya. Jalannya begitu cepat. Baru semenit sudah berlangkah-langkah yang ditempuhnya. Kamipun  bergegas meninggalkan tempat penuh kenangan itu dan melangkah menuju kost di tengah keramaian Kota Malang.




Biodata Penulis


Nama               : Siti Ma’sumah
Alamat                        : Tanjungsari RT 03 RW 04, Petanahan, Kebumen
Alamat email   : sitisumah40@gmail.com
Akun FB         : Siti Ma’sumah
No. HP            : 087732505593

No comments:

Post a Comment

KONEKSI ANTAR MATERI KESIMPULAN DAN REFLEKSI MODUL 1.1

  Ki Hajar Dewantara merupakan sosok yang sangat pantas mendapatkan julukan sebagai Bapak Pendidikan. Beliau tidak pernah merasa putus asa u...