“Plak..Plak..Plak..”
Tamparan keras dari seorang lelaki
kepada gadis kecil di persimpangan Jalan Hang Tuah. Aku tak sengaja melihatnya
ketika di dalam angkot. Tampak wajak gadis kecil itu memerah dan isak tangis
yang tak tertahankan. Air matanya mengalir begitu deras. Lelaki itu nampak
emosi, wajahnya bengis penuh amarah. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu.
Kupandangi wajah gadis itu, sepertinya
aku mengenalinya. Tapi, siapa? Batinku berkata demikian. Iya, aku ingat, gadis
itu bernama Afri, pengamen jalanan yang pernah menolongku dari serangan
preman-preman keji, tiga bulan silam. Lelaki itu adalah ketua dari gerombolan
preman yang dulu memukuliku. Iya, aku ingat sekarang.
Rasa kasihan tumbuh seketika kumelihat Afri.
Aku bingung, haruskah ku menolongnya, sementara aku bukan siapa-siapa. Orang
asing yang tak tahu urusan mereka. Tapi, tak bisa ku seperti ini, berdiam diri
melihat orang yang dulu menolongku dari kekejian sang preman. Biarlah mereka
menganggapku tukang ikut campur, yang jelas niatku baik.
Aku harus menolong dia, seperti apa yang
dulu telah dia lakukan. Akan kubuktikan kalau aku memang pria jantan yang punya
hati.
“ Berhenti, berhenti, berhenti Mang..”
ucapku pada sang sopir angkot. Tepat di pertigaan jalan angkotpun berhenti.
“ Hey, mau kemana loe? Ini kan masih di
pertigaan, belum sampai gang kost-an kita juga.” ucap Asrofil kepadaku.
“Terserah gue mau ke mana, apa urusan
loe?” jawabku rada males.
“Dasar, mau ke mana si?”
“ Aku mau turun di sini. Udah jelas, mau
ikut kagak?”
“ Gak jelas” Balasnya spontan.
Wajah Asrofil nampak kebingungan
sepertinya dia masih memikirkan tawaranku. Asrofil adalah teman seperjuanganku.
Kami berasal dari satu desa. Kami bersahabat sejak masih balita sampai segede
gini. Kemanapun aku pergi, dia selalu ada di belakangku. Banyak orang bilang,
kita seperti anak kembar yang tak terpisahkan. Di mana ada aku, pasti di situ
ada dia. Lama-kelamaan aku merasa bosan sendiri dengan segala tingkahnya yang
selalu mengikutiku. Dia seolah tak punya pendirian dan arah hidupnya dan
terlalu bergantung kepadaku. Tapi, sisi lain dia sangat perhatian bahkan
melebihi perhatiannya kepada kekasihnya sendiri. Tak banyak yang dapat
kuungkapkan tentang dia, yang jelas aku sebel sekaligus bangga punya sahabat
seperti dia.
Aku turun dari angkot
tanpa memperhatikan apakah Asrofil turun atau gak, yang ada di pikiranku
sekarang hanyalah apakah aku bisa menolong gadis kecil itu. Terserah dia ikut
aku atau gak. Kemungkinan besar dia pasti ikut kemanapun aku pergi.
Bener dugaanku. Dia mengejarku yang
lebih dulu turun dari angkot.
“Ardi. Tunggu aku, aku ikut kamu” ucapnya dengan napas terengah-engah dan suara
terbata-bata.
“ Ayo cepetan, jangan lelet. Katanya
calon TNI. Mana jiwa perkasamu?”
“ Iya, iya. Aku lari”
Napasnya masih terengah-engah, namun dia
berusaha menyeimbangi langkahku.
“ Tunggu dong, cepet banget jalannya,
kayak sepur aja loe. Sebenarnya mau ke mana loe? Gak jelas banget.”
“ Kamu mau tau aku mau ke mana, tuh
lihat di seberang jalan sana”
Asrofil melihat kedua orang itu, seorang
lelaki keji dan gadis kecil. Dia melihat sang lelaki yang terus saja menampar
gadis kecil itu. Aku melihat raut kebingungan pada mata dan mukanya. Dia tak
begitu percaya dengan tingkahku.
“ Bahaya. Jangan, jangan” tegasnya
kepadaku. Dia berusaha mencegahku menuju kedua orang itu. Pertengkaran kecilpun
tak dapat dihindari diantara kami. Dia sangat tidak setuju dengan apa yang
hendak kulakukan. Namun, aku berusaha menyakinkannya kalau aku bisa menolong
anak itu.
“ Selagi niat kita baik pasti Alloh akan
selalu melindungi kita” ucapku padanya.
“ Kamu lihat dulu seberapa kemampuanmu.
Baru tiga bulan di karantina sudah nekat beraksi di jalanan. Lihatlah tubuhnya,
kuat, tinggi, kekar. Bandingkan dengan kita. Betapa kecilnya kita di
hadapannya” argumennya kepadaku.
“ Memang benar, lelaki itu kekar,
berotot, tinggi, menakutkan, tapi apakah kamu tak kasihan melihat gadis kecil
itu? Coba bayangkan jika dia adikmu sendiri. Mana belas kasihanmu?” ungkapku sembari
mencoba memastikan kalau aku bisa.
“ Iya, bukannya aku melarangmu, tapi
sungguh ini tak baik bagimu, begitu menakutkan. Aku takut kau tak bisa
mengalahkannya dan akhiranya kau juga kan yang kena.” jelasnya dengan seribu
alasan. Berharap aku tak mau melanjutkan lagi tingkah konyolku.
“ Tak ingatkah kau dengan gadis kecil
itu, dulu dialah yang menyelamatkan kita dari serangan preman-preman tak
bermoral, bukan?” kataku sambil mengajak dia ingat pada kejadian tiga bulan
silam, di saat kami berdua dikeroyok oleh sekelompok preman di gerbang kereta.
Dia kembali melihat
kedua orang itu dengan keseriusannya dan berusaha mengingat kenangan pahit
diantara kami. Dia tertunduk sejenak. Mungkin dia mulai mengingat kajadian itu.
Di saat kita berdua pertama kalinya menginjakkan kaki di kota ini. Kami yang baru
lulus SMA, belum pernah belajar bela diri, badan belum kuat seperti sekarang,
pantaslah kalau kita menjadi target sasaran mereka. Uang saku pemberian orang
tua untuk mencukupi kebutuhan selama sebulan diembat habis oleh mereka. Pukulan
keras tak segan-segan mereka berikan kepada kami. Wajah kamipun memar dan
kebiru-biruan.
Untungnya ada seorang gadis kecil, sang
pengamen cilik yang menolong kami berdua. Dia bertubuh kecil tapi berani. Geng
preman itu adalah yang mengkoordinir semua pengamen di kompleks itu. Patutlah
kalau gadis itu mengenalinya. Dia berusaha melepaskan kami dari cengkeramannya.
Apapun dia lakukan, membentak-bentak preman itu sampai bersujud di kakinya demi
menyelamatkan kami. Tapi tak membuahkan hasil, hanya cacian yang dia dapatkan.
Dia justru ditendang dan terpental jauh.
Kami berusaha
menolongnya, tapi dia berkata “jangan, lebih baik kalian selamatkan diri kalian
sendiri dulu. Kalian orang asing, tak sepantasnya diperlakukan seperti
ini”Gumamnya sambil menahan rasa sakit.
Kami tak menghiraukan kata-katanya.
Jelaslah kami tak tega meninggalkan gadis kecil itu sendirian di tengah
gerombolan preman biadab. Dia sama sekali tidak menyerah, semangatnya menolong
kami begitu besar. Terpaksa hasil mengamennya selama sehari, dia kasihkan
kepada mereka semua. Hingga akhirnya gerombolan preman pergi meninggalkan kami
dan gadis kecil itu.
Kembali kutatap Asrofil yang sepertinya
sudah mengingat kejadian tiga bulan silam.
“ Iya, aku ingat sekarang. Tak sebaiknya
aku bicara seperti itu. Maaf.”
“ Sudahlah. Penyesalan memang selalu
datang di akhir, yang penting ayo kita
bergerak dan menyelamatkannya.”
Kami berdua menyeberangi jalan menuju
kedua mereka. Lelaki itu masih saja memukulinya.
“Hey, lelaki biadab. Ayo lepaskan. Kalo
berani lawan kami, beraninya sama anak kecil” ungkapku dengan nada keras.
“Siapa kamu, anak bau kencur sok menjadi
pahlawan” tegasnya keras.
Gadis kecil itu menatap kami, nampaknya
wajah kami tak asing baginya. Dia tersenyum melihat kedatangan kami.
“ Dulu memang kami bau kencur, tapi lihatlah
sekarang, jauh berbeda bukan? Aku yang dulu pernah kau pukuli hingga babak
belur di depan gerbang kereta api, masih ingatkah kau? tegasku dengan nada
keras.
“ Oh, jadi kamu anak yang dulu kupukuli.
Hebat, hebat, sekarang udah gede juga
ya, anak kecil. Oke, perlu kucoba kemampuan kalian. Ayo maju.” Balasnya dengan
lantang. Dia hanya terkekeh melihat tingkah kami yang seperti pahlawan
kesiangan.
“ Siapa takut?” jawabku singkat.
Dia semakin terkekeh melihatku.
Tertawanya sungguh menghujam jantungku.
Perkelahian diantara
kami tak bisa dilerai. Asrofil dan gadis kecil itu hanya bisa melihat kami tak
bisa bertindak. Satu pukulan dibalas dengan satu pukulan. Tubuhnya yang tinggi
besar membuatku kewalahan menghadapinya. Akupun terjatuh karena pukulan kerasnya.
Kucoba bangkit untuk berjuang melawan lelaki biadab itu. Asrofil dan gadis
kecil itu memberiku motivasi untuk tetap berjuang dan bertahan. Sejenak,
semangat barupun tumbuh pada diriku. Aku harus bangkit.
Kuserang dia dengan
sekuat tenaga seolah sedang berada dalam medan perang membela tanah air. Apa
yang terjadi, ternyata dia terjatuh sepertiku. Pukulanku begitu keras. Darah
mengalir begitu deras dari lubang hidungnya. Diapun kabur dari hadapanku dan
lari terbirit-birit dengan kencangnya. Tak kuduga aku bisa mengalahkan lelaki
biadab itu. Mungkin kemenanganku ini karena dia sendirian, tak ada anggota
preman yang lain. Beruntunglah aku. Ternyata, pelajaran selama di karantina
calon TNI tidak sia-sia. Aku dapat menolong orang.
Asrofil dan Afri berjalan mendekatiku.
Mereka tersenyum bahagia, namun sedih melihat mukaku yang memar dan penuh luka.
“ Ada yang sakit?” tanya Asrofil padaku.
Hanya
kubalas dengan menggelengkan kepala.
“ beneran kak, mukamu memar ka?” ucap Afri.
“ Iya gak papa, luka biasa ini, nanti
juga sembuh sendiri” balasku penuh senyuman palsu.
“ Gimana bisa sembuh, orang gak
diobatin. Dimana-mana ya kak luka itu harus diobatin, gak bakalan sembuh
sendiri” gumamnya pelan.
Aku hanya tersenyum melihat perhatian
mereka.
“ Iya, nanti gampang, di kost masih ada
obat buat luka memar.” jelasku padanya.
Sengaja kuputar balikan fakta yang
kenyataannya gadis kecil itu juga merasakan hal sama denganku. Penuh luka memar
di mukanya.
“ Hidungmu juga berdarah tuh”
“ Aku udah biasa kayak gini ka, bukan
hal yang baru. Bentar lagi juga sembuh. Tenang aja kak” jawabnya.
Dia mengajak kami beralih pada topik
pembicaraan yang lain. Berharap kami tak mempersoalkan hal ini lagi.
“ Kak, bukannya kalian yang dulu
dipukuli preman-preman yang ada di gerbang kereta ya? tanyanya pada kami. Dia
begitu penasaran apakah yang dipikirannya memang benar atau tidak.
“ iya, ternyata kamu masih ingat juga
ya” jawab Asrofil.
“ Makasih ya atas pertolonganmu dulu”
jawabku.
“ Hehehe.. sama-sama kak, aku juga
berterimakasih atas pertolongannya kak?”
“ Iya, sebagai umat muslim kita harus saling
menolong dimanapun kita berada” ungkapku padanya.
“ Dulu kamu menolong kami, apa salahnya
sekarang gantian kami yang menolongmu” Asrofil menambah argumenku.
Kami bertiga saling bertatapan dan melempar
senyuman. Tiba-tiba terdengar suara
adzan dari arah barat daya...
Allohu
akbar..Allohu akbar...3x
....
“ Ternyata, udah maghrib, ayo kita
pulang.”ajakku pada mereka.
“ Iya, kak, ayo”
“ Kamu mau dianter gak?”kami siap
membantu” ucap Asrofil.
“ Gak usah kak, aku bisa pulang sendiri,
deket ko rumahku di balik jembatan layang itu. Kalo kakak ada waktu main ya ke
rumahku”
“ Oh, okelah, kamu hati-hati ya, kapan-
kapan pasti kita sempatkan main ke rumahmu” ucapku lantang.
Dia hanya membalasnya dengan senyuman
dan berbalik arah dari kami menuju rumahnya. Jalannya begitu cepat. Baru
semenit sudah berlangkah-langkah yang ditempuhnya. Kamipun bergegas meninggalkan tempat penuh kenangan
itu dan melangkah menuju kost di tengah keramaian Kota Malang.
Biodata Penulis
Nama : Siti Ma’sumah
Alamat : Tanjungsari RT 03 RW
04, Petanahan, Kebumen
Alamat
email : sitisumah40@gmail.com
Akun
FB : Siti Ma’sumah
No.
HP : 087732505593
No comments:
Post a Comment